Baca selengkapnya

Tema: Merdeka dalam cinta
Judul: Renjana

Dalam peraduan yang tak pasti, aku tersungkur. Benar, aku yang salah. Tak seharsnya aku meminang gadis orang. Hidupku pun tak ubahnya gelandangan yang tak diinginkan.

***

Angin sore dari puncak menara di kota Jakarta. Berembus meniup rambut yang semraut. Tangan masih tersimpan di saku celana. Menikmati tiupan angin yang membelai wajah. Menyaksikan matahari kembali ke peraduan.

Pagi tadi, sorotan mata meneyepelekan terlihat di wajah bapak perempuan pujaannya. Saat hati membulatkan niat meminang kekasih yang sudah lama meraja dalam diri. Akan tetapi, sayang sekali. Harapan tak semulus kenyataan. Itulah nasibnya.

"Kamu mikir kalau mau meminang anak gadis orang!" Pak Ardiman menunjuk-nunjuk jari telunjuknya tepat di depan wajah Pradipta. Keyakinan Pradipta luluh seketika. Jalinan cinta yang terajut selama lima tahun akan kandas begitu saja. "Kamu itu hanya tukang pel di kantor. Sedangkan anakku, dia sarjana. Lulusan kampus negeri," lanjut Pak Ardiman menambah coretan hitam di wajah Pradipta.

Pradipta,  seorang office boy di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan ini sangat berat untuknya yang hanya lulusan SMP. Bisa jadi office boy pun sudah sangat beruntung jika dibandingkan dengan para pendatang lain yang nasibnya terkatung-katung di jalanan. Jakarta tidak seindah film-film di televisi, penghasilan pun belum tentu sebanding pengeluaran yang melangit.

Ayu mengembuskan napas di dapur. Percakapan Pradipta dengan ayahnya di ruang tengah terdengar sampai belakang. Selalu, kesamaan strata yang menjadi ganjalan. Tak sejalan dengan pemikiran Ayu, bukan pendidikan tinggi yang diinginkannya. Apa arti pendidikan yang tinggi jika hati tak merdeka. Apa lagi kini usia Ayu sudah tidak muda, hampir menyentuh kepala tiga.

"Sabar, Nak. Kalau memang kalian berjodoh, Allah akan memudahkan jalan penyatuan kalian." Bu Aminah mengelus puncak kepala Ayu. Di ruangan 4x4 itu, Ayu duduk di kursi meja makan. Di sampingnya, Bu Aminah duduk. Menemani Ayu yang mendengarkan perbincangan ayah dan kekasihnya.

"Dengar, ya. Sekalipun jika hanya ada seorang lelaki lagi di dunia ini, aku tak akan pernah menyetujui pernikahan kalian!" Pak Pradipta kembali berkata dengan keras. Pradipta hanya tertunduk. Tak ada gunanya ia melawan, justru jika melawan, maka tidak menutup kemungkinan ayah kekasihnya itu akan semakin marah  padanya.

Setelah memdengar penolakan yang entah ke berapa kali, Pradipta pulang dari rumah kekasihnya. Hand phone digenggaman terus berbunyi, Ayu mencoba menelponnya berkali-kali. Akan tetapi, untuk kali ini Pradipta hanya ingin sendiri. Tidak ingin diganggu meski itu dari kekasihnya.

Kegalauan mendera. Di sudut warung kopi, ia memainkan batang rokok. Kepulan asap menyeruak di ruangan kecil itu. Setali tiga uang dengan Ayu, umurnya sudah tidak muda. Tuntutan orang tua di desa ingin segera memiliki menantu selalu terbayang.

Disentuhnya layar HP, terlihat banyak pesan WA masuk dari kekasihnya. Satu persatu pesan dibaca. Namun, semakin terus dibaca, emosinya seperti tersulut.

'Apakah aku harus membawanya kabur saja dari kota ini?' Hatinya bermonolog. Namun, sungguh tak elok jika didengar ibunya. Restu itu penting, bukankan keridoan Allah ada dalam keridoan orang tua.

Di tengah kekalutannya yang menjadi. Alunan musik dari radio di warung terdengar. Sebuah lagu dari Judika, penyanyi jebolan saluh satu ajang bakat suara di televisi swasta.

Biar mamamu tak suka
Atau papamu melarang
Biar dunia menolak
Kutetap cinta kamu

Selesai lagu dinyanyikan, penyiar radio berkomentar, bualan-bualan kosong untuk menguatkan para pejuang cinta yang tak dapat restu. Akan tetapi, aaah, berkomentar itu terlalu mudah. Beda dengan orang yang merasakannya secara langsung.

Pradipta beranjak dari warung, merogoh beberapa helai uang dua ribuan dari saku untuk membayar kopi. Setiap tempat seperti sedang menertawakannya. Menertawakan nasibnya yang hanya seorang OB.

Tak lama ia berjalan dari warung, HP-nya berbunyi lagi. Pradipta melangkahkan kaki dibawah rimbunnya pohon di dekat selokan. Jarinya bergerak di atas layar. Sebuah pesan dari Ayu.

'Perjuangan itu tidak sepihak, ada aku juga yang berjuang untuk hubungan kita. Aku ingin Abang yang menjadi imamku, bukan yang lain. Datanglah kembali ke rumah, ayah sudah merestui.'

Seperti hujan di tengah terik matahari yang membawa kesejukan. Ia melompat kegirangan saking bahagianya. Tak peduli dengan pandangan orang yang lalu-lalang di jalan tempatnya berdiri.

"Yes," ucapnya di tengah bahagia. Mata berbinar bibir tersungging senyuman. Ia lalu berlari, kembali menuju rumah kekasihnya.

Sesampainya kembali ke rumah Ayu, bukan berita bahagia yang didapat. Akan tetapi, sebuah tantangan baru disuguhkan di mukanya.

"Aku menyetujuimu menikah dengan anakku. Tapi dengan satu syarat, buatkan dia rumah terlebih dahulu hingga aku bisa tenang menitipkan anakku padamu."

Kata-kata itulah yang membuatnya semakin risau hingga ia berdiri di atas puncak gedung tempatnya bekerja. Syarat yang tak mudah bagi ia yang hanya seorang OB. Jakarta bukan kota yang bersahabat bagi mereka yang tak mempunyai keahlian.

Pradipta melihat jam di tangan, sudah waktunya pulang. Akan percuma jika ia hanya merutuk pada takdir, tapi tidak berusaha mengubah takdir itu.

TSM, 12 Oktober 2019