Baca selengkapnya

Telaah Kehidupan

Judul : Rembulan Tenggelam Di Wajahmu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tebal : iv+427 halaman
Terbit : 2009
ISBN : 978-979-1102-46-9
Harga : -
Peresensi : Dede Aah Humairoh

“Apakah kami memang tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih saat akan dilahirkan?” (Halaman 55)

Pertanyaan tersebut merupakan salah satu pertanyaan pembuka dari lima pertanyaan yang diajukan Rehan dalam buku Rembulan Tenggelam Di Wajahmu karya Tere Liye. Penulis yang lahir di Lahat, Sumatera pada tanggal 21 Mei 1979 ini merupakan penulis novel yang beberapa karyanya pernah diangkat ke layer kaca, sebut saja Hafalan Shalat Delisa dan Moga Bunda Disayang Allah. Tere Liye merupakan penulis aktif yang telah melahirkan 38 novel sejak tahun 2005 sampai dengan tahun2018.

Novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu terbit pada tahun 2009, cetakan pertama pada bulan Februari dan cetakan kedua pada bulan April. Bahkan rumah produksi Max Picture akan menggarap novel best seller tersebut ke layar lebar.

Novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu – plot awal dibuka dengan sudut pandang orang ketiga, narator—menceritakan kisah sendu seorang anak yatim piatu yang sedang bermain ayunan di salah satu panti asuhan pada saat hari raya. Ia ingin bertanya tentang ayah dan bunda kandungnya pada penjaga panti, Kak Amel. Namun, karena Kak Amel sedang sibuk mencatat, membagi kiriman parsel pada hari raya jengkel diganggu, kemudian tak sengaja membentak dan menyuruhnya menyingkir.

Pada plot selanjutnya, Tere Liye memvisualisasikan kehidupan Rehan di masa lalu, dimulai pada saat Rehan berada di panti, panti yang sama dengan Rinai berada saat ini. Rehan yang sudah berusia enam puluh tahun itu melihat masa lalunya bersama dengan orang yang berwajah menyenangkan. Rehan sebagai tokoh utama digambarkan berwatak terbuka dan mudah berteman dengan siapa pun, juga digambarkan seorang yang setia kawan dan pintar. Sehingga pada saat Diar melakukan kesalahan dengan merusak tasbih milik penjaga panti yang sangat dibenci oleh Rehan. Pada bagian ini Tere Liye menuliskan sebuah ironi kehidupan yang terjadi pada saat ini.

“Dan dia mulai menyumpahi penjaga panti yang sok-suci itu. Sok-baik. Sok-Mulia. Mana pernah pernah bungkusan itu dibagikan ke mereka? sama seperti sumbangan dari dermawan lainnya, uang sumbangan itu hilang entah ke mana. Dimakan sendiri olehnya. Dasar maling.” (Halaman 15)

Berawal dari kebencian pada penjaga panti ini, membentuk karakter Rehan sampai dewasa yang ingin mengadili kebijakan Tuhan.  Sehingga sosok orang yang berwajah menyenangkan itu mengajak Rehan untuk menyelami hakikat kehidupan dengan menjawab lima pertanyaan yang bercokol dalam diri Rehan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sering menjadi pertanyaan banyak orang dalam menjalani takdir kehidupannya.

Kelima pertanyaan itu terangkai dalam sebuah peristiwa kehidupan Rehan yang penuh suka-duka. Dimulai dari menjadi anak yatim selalu disiksa oleh penjaga panti, menjadi anak jalanan dengan segala resiko kehidupan kerasnya para gelandang, titik balik rehan saat berada di Rumah Singgah, hingga ia kembali lagi menjadi pribadi yang memilih pada kejelekan dengan pencurian maha dahsyat pada masanya, dan kembali lagi pada titik di mana Rehan merasa tidak sendiri dan hampa. Meskipun pada lanjutan cerita takdirnya ia diuji kembali dengan ujian kehidupan yang membuatnya kembali terpuruk dan menyalahkan takdir.

Dalam novel ini juga, Tere Liye ingin menyampaikan bahwa setiap kita adalah bagian dari siklus bola raksasa yang indah, yang akan menjadi sebab-akibat bagi orang lain. Seperti halnya diceritakan, perubahan watak penjaga panti yang sadar akan kesalahannya karena seorang Diar—anak panti yang maeninggal karena ulah Rehan--.

Di akhir novel ini, Tere Liye menjelaskan hubungan sebab-akibat dari takdir kehidupan seorang Rehan dengan sosok Rinai yang mempunyai nasib yang sama seperti Rehan. Apa sajakah kelima pertanyaan dalam diri Rehan yang mengungkungi dirinya hingga akhir hayat? Bagaimanakah hubungan takdir Rehan dengan sosok Rinai, si yatim dalam ayunan? Jawabannya akan ditemukan jika membacanya sampai akhir.

Seperti karya-karya lain yang telah dibuat oleh Tere Liye, yang quote-nya sering disadur oleh banyak orang. Maka dalam novel ini pun, terdapat banyak dialog berisi yang penuh dengan pesan moral. Seperti kalimat Bang Ape—pengasuh di rumah Singgah—saat salah satu anak asuhnya, Dito akan diadopsi:

“Kalian akan tetap menjadi saudara di mana pun berada, kalian sungguh akan tetap menjadi saudara. Tidak ada yang pergi dari hati. Tidak ada yang hilang dari sebuah kenangan. Kalian sungguh akan tetap menjadi saudara.” (Halaman 97)

Novel ini juga, bisa menjadikan kita kembali menelaah hakikat takdir kehidupan kita dengan gaya penyampaian penulis yang tidak menggurui. Sehingga saat membaca novel ini, kita seperti bercermin pada diri kita sendiri tentang kehidupan yang pasti bertemu pada titik akhir usia.

Namun, sayangnya dalam novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu ini, kita harus fokus dalam membaca setiap babnya, karena dalam dalam novel ini, Tere Liye menggunakan alur campuran di hampir setiap pergantian bab. Ada juga ketidak-konsistenan penulis dalam penulisan kata baku yang sesuai dengan KBBI, kata ‘memesona’ digunakan pada halaman 381, sedangkan pada halaman 236, penulis menulis dengan kata ‘mempesona’. Kata ‘menyilahkan’ pada halaman 155. Kata ‘Hembusan’ pada halaman 224. Dan terakhir, Tere liye menggambarkan sosok Rehan yang tidak pandai bernyanyi pada halaman 161, tetapi pada halaman 217 Rehan digambarkan mengesankan kalua bernyanyi lagu sendu.

Terakhir, apakah saya merekomendasikan novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu karya Tere Liye ini? Jika novel ini sudah menjadi best seller dan sudah dilirik oleh sutradara untuk di-film-kan, juga latar belakang Tere Liye yang quote (kata bijak) sering menjadi rujukan para nitizen—yang tentunya banyak kata bijak dan pesan moral dalam novelnya--, maka tentunya sudah lebih dari sekedar ‘recommended’ bagi pembaca yang ingin menelaah kehidupan.