Baca selengkapnya
Tema: Merdeka dalam karya
Judul: Izinkan Aku Menulis
"Aksara itu duniamu, mengapa kau pergi meninggakannya?"
Dari balik laptop, jari Ayubit menari. Menyusun huruf demi huruf hingga membentuk kalimat. Denting musik turut mengiringi setiap ketikan. Tak jarang kepalanya ikut bergerak mengikuti alunan musik. Begitulah kebiasaan Ayu sekarang, setelah mengenal komunitas menulis dari FB, lalu berlanjut mengikuti kelasnya di aplikasi WA.
"Neng, kata Bapak siap-siap pergi les matematika." Suara Mak Nirah membuyarkan konsentrasi Ayu. Diliriknya jam di dinding, jarumnya tepat menunjukkan pukul lima sore. Ayu menghela napas kasar, setelahnya segera menyimpan tulisan yang baru di ketiknya.
"Iya, Mak. Ayu segera turun." Senyum mengembang di bibir mungil Ayu. Mak Nirah menutup pintu kamar. Kamar Ayu tidak tertutup rapat awalnya, ia segera bergegas membuka laptop saat sampai di kamar. Hari ini 'deadline' tugas di kelas menulis yang ia ikuti. Jangankan menutup pintu kamar, seragam sekolahnya pun masih menempel di badan.
Sudah sejak lama Ayu ingin mengikuti les menulis, tetapi ayahnya selalu menentang. Bagi Pak Dira, lebih baik mengikuti les matematika dibanding les menulis. Hanya orang yang tidak mempunyai pekerjaan yang bergelut dengan tulisan.
"Kamu sudah siap, Nak?" Pak Dira memakai jaket kulit yang tersandar di kursi. Dari dekat tangga, Ayu menganggukkan kepalanya. Rambutnya yang dikucir serta foni yang menutup sebagian dahi menambah ayu pemilik nama Ayu tersebut.
Ayu memakai jaket dan helm sebelum menaiki motor. Pak Dira sengaja memakai motor setiap kali mengantar Ayu les, sore seperti ini kondisi jalanan sangat macet. Ruas jalan dipenuhi para karyawan yang baru pulang dari tempatnya bekerja. Sehingga, motor lebih baik digunakan dalam kondisi macet seperti itu.
Ayu menatap gedung tempat bimbelnya, berjalan menunduk melewati pelajar lain yang sedang duduk di kursi dekat papan pengumuman.
Les dimulai, guru matematika yang mengajar di tempat bimbel mulai menjelaskan materi trigonometri. Mulai dari teori sudut istimewa sampai kuadran dalam trigonometri. Semua seperti berlalu begitu saja. Tak tertangkap sedikit pun dalam otak Ayu.
Namun, Ayu ternyata malah membuka 'hand phone', pesan masuk dari grup kepenulisannya sangat banyak. Para anggota grup saling menyapa, bersenda gurau dengan mengirim stiker yang membuat Ayu tersenyum sendiri.
Tak terasa waktu les pun selesai, dengan semangat Ayu keluar dari ruangan. Setengah berlari, berharap ayahnya sudah tiba menjemput.
"Sudah selesai, Nak?" Pak Dira menyambut Ayu yang berlari menujunya di bahu jalan. "Kamu pasti lapar setelah belajar matematika, kita makan di luar saja, ya. Hadiah dari Bapak, biar kamu lebih semangat belajarnya. Inget, kamu harus lolos masuk STAN," lanjutnya menegur Ayu yang sudah duduk di belakang kemudi.
"Huffftt ...." Suara desahan Ayu tak terdengar jelas oleh Pak Dira. Bebannya terasa semakin berat. Bukan itu yang ia inginkan. Ia hanya ingin menulis seperti penulis novel favoritnya yang sering ia baca.
Motor melaju, memecah jalanan yang semakin ramai. Dalam hati Ayu, perasaan dilema merasuk. Antara ingin menyampaikan cita-citanya atau diam mengikuti keinginan ayahnya.
Sesampainya di restoran, Ayu hanya memainkan makanan yang dipesan ayahnya. Sesekali tangannya mengetuk-ngetuk meja, menunggu waktu yang tepat, saat ayahnya sudah selesai makan.
"Yah, ada yang ingin Ayu sampaikan." Suara Ayu bergetar. Ada rasa takut dan was-was, tetapi Ayu tak ingin ayahnya terlalu berharap lebih. Ia juga ingin mencapai cita-cita yang diinginkannya.
"Sampaikanlah, Nak." Tangan Pak Dira mengelap area mulut dengan tisu. Setelahnya, meminum air putih. Matanya melirik kanan-kiri, suasana restoran khas Sunda yang sederhana. Di setiap tempat duduk tergantung anyaman bambu. Perkakas dapur khas orang sunda terpajang di tengah restoran. Ada wajan, seeng, asepan, tak lupa tungku kecil. Suasana seperti ini membuat Pak Dira ingin pulang ke kampung halamannya.
"Yah, aku kurang suka pelajaran matematika. Aku juga tidak ingin menjadi seorang akuntan. Aku tidak ingin masuk jurusan akuntansi. Aku ingin jadi penulis, Yah. Aku ingin masuk jurusan sastra." Dengan menunduk Ayu menyampaikan segala isi hati, tak berani ia memandang ayahnya.
Cahaya mata yang begitu berbinar mana kala melihat Ayu pergi les, kini redup. "Benarkah apa yang kamu katakan, Nak?" tanya Pak Dira meyakinkan apa yang didengarnya.
"Yah, izinkan aku menulis," jawab Ayu sambil sesenggukan, "Izinkan aku menjadi penulis, Yah," lanjut Ayu. Wajahnya bercucuran air mata.
Pak Dira terlihat bingung, antara kecewa dan ingin membahagiakan anaknya. Jiwanya berkecamuk. Bukankah setiap orang itu mempunyai minat dan bakat yang berbeda? Bukankan yang melewati fase kehidupannya kelak itu anaknya, bukan ia? Pak Dira menarik napas sedikit demi sedikit, mencoba menetralisir kegundahannya.
"Nak, jika memang kamu menyukai menulis, Ayah bisa apa. Menulislah. Sudah, jangan menangis lagi. Malu sama pengunjung lain." Bujuk ayahnya menenangkan Ayu.
"Benar, Yah?" tanya Ayu, matanya bulat sempurna. Binar bahagia dari wajahnya tampak terlihat.
"Iya, Nak." Pak Dira mengusap lembut tangan anaknya. "Jadilah apa yang kamu mau, Nak."
End
TSM,12 Oktober 2019
0 Reviews