Baca selengkapnya

Kartinah menghela napas, sudah hampir setahun Dirman--suaminya--sakit gagal ginjal, tetapi penyakitnya tak kunjung mau pergi dari tubuhnya. Ada penyesalan tentang nasip yang diterima, tapi jarang sekali seorang perempuan pergi meninggalkan suaminya yang sudah sengsara. Berbeda dengan lelaki, ia pergi sesuka hati. Tanpa tau pengorbanan seorang perempuan. 

"Sudahlah, tinggalkan suamimu yang berpenyakitan itu." Pak Abdul, bapaknya Kartinah sering berujar. 

Kartinah yang tak tegaan lebih memilih setia pada suaminya. Harta warisan mendiang ibunya, raib dijual untuk berobat. Sungguh ironi kala ia melihat tumpukan kartu dibalik dompet leceknya yang bergambar dua anting. Dompet hadiah dari toko mas saat suaminya bekerja menjadi tukang sapu di pasar. Kartu-kartu berjejer, menjejal isi dompet. Kartu sehat, kartu pintar, kartu sejahtera, dan jenis-jenis kartu lainnya. 

Sering Kartinah mengandalkan lembaran foto kopi kartu sehat untuk mengobati suaminya. Namun tak jarang, pihak rumah sakit sering banyak alasan dalam menangani pasien. Bahkan pernah Dirman dirawat di koridor rumah sakit selama seminggu. 

Pernah juga saat penyakit Dirman pertama kali diketahui, ia dibawa ke rumah sakit umum, karena ruang rawat untuk pengguna kartu sehat sudah penuh, terpaksa Kartinah menyetujui Dirman dirawat di kelas VIP yang harga per malamnya selangit. Saat Dirman boleh dibawa pulang, Kartinah bingung, pontang-panting mencari uang untuk membayar tagihan. Akhirnya, Kartinah pergi ke rentenir, uang cepat cair meski bunga mencekik. Dan sampai saat ini utangnya pada rentenir tak kunjung lunas, justru semakin berbunga dan berbunga. 

"Pak, coba hubungi adikmu yang polisi itu. Mungkin dia mau membantu biaya pengobatan Bapak." Kartinah berkata sambil memberinya sesendok air putih. Sekarang air yang diminum Dirman sedikit, makan pun sedikit. Hilang sudah kenikmatan duniawi yang pernah direngkuhnya. Namun dibalik itu, memang menghemat biaya sehari-hari, tapi biaya pengobatan lebih mahal darinya.

Dirman mengalihkan pandangan dari istrinya. Bukan tak mau ia menghubungi adiknya yang sudah jadi polisi di kota, yang pangkatnya  katanya sudah berbintang dua. Tapi apa mau dikata, adiknya seperti lupa pada kakaknya. Bertemu dengannya pun hanya sekali, saat idul fitri saja. 

"Atau Bapak berobat sama kakakmu saja yang dokter, biar gratis, tidak bayar." Kartinah masih berbicara. Ia berusaha mencari jalan keluar dari sekelumit masalah keuangan keluarganya. 

Beras di dapur tinggal segenggam lagi, uang hasil menjual sawah dipakai untuk keperluan biaya transportasi suaminya saat mau cuci darah. Jarak dari rumahnya ke rumah sakit sangat jauh, Kartinah yang tinggal di pinggir desa perbatasan dengan kabupaten lain harus menempuh waktu lima jam untuk sampai ke sana. Cuci darah wajib seminggu dua kali itu artinya, lama-lama uang simpanannya bakal cepat habis juga. 

Pak Dirman tertawa kecut, mana mungkin dia berobat pada kakaknya. Kakaknya dokter hewan, memangnya Dirman kucing atau tikus yang kekenyangan memakan uang anggaran belanja negara? 

Terlahir dari keluarga berada, Dirman sekolah sampai jenjang sarjana. Ia pernah menduduki jabatan kepala supervisor di sebuah perusahaan makanan di Cikarang. Tapi nasibnya tak semujur saudaranya yang lain, baru setahun bekerja, perusahaan tempatnya bekerja pailit karena kondisi ekonomi yang semakin sulit hingga ia menerima surat pemecatan yang tiba-tiba. Rumah seharga 3M dan dua mobil lamborginya disita karena tak mampu lagi membayar cicilan per bulan. Tak hanya itu, Warisan dari orang tuanya dijual untuk membayar pinjaman ke bank bekas ia berlibur ke Eropa selama dua minggu. Juga untuk menutupi arisan yang diikuti istrinya bersama ibu-ibu komplek perumahan elit. 

Melamar kesana- kemari tak ada yang menerima. Mencari kerja di kota metropolitan semakin sulit, PHK dimana-mana. Kartinah dan Dirman turun derajat, pindah ke kampung tempat asal istrinya. Tanpa membawa uang sepersen pun, Kartinah dan Dirman tinggal di gubuk reyot orang tua Kartinah. Bekerja serabutan, Dirman kadang menjadi kuli angkut di pasar, tukang sapu, atau tukang bangunan yang mencari pekerja kasar. 

Sampai penyakit gagal ginjal datang, tak ada lagi ajakan kumpul di negara Eropa dari saudara-saudaranya. Ah, sebenarnya bukan sejak saat itu, tepatnya saat perekonomian Dirman memburuk persaudaraan seperti hilang begitu saja. Mungkin jika bertemu di jalan, mereka seperti tak pernah kenal dengan orang yang bernama Dirman. 

Brayn, anak lelaki yang kini berusia 8 tahun datang ke kamar, pakaiannya lusuh dan kusam, sudah tak muat di badan. Sambil menangis sesenggukan ia meminta uang jajan. Mungkin ia iri melihat teman-temannya jajan. Kartinah mencari receh sisa belanja sayuran di saku baju. Satu koin uang seribu rupian diberikan. Brayn berlari ke luar mencari mamang es potong yang lewat di depan rumahnya. 

Dulu sekali, anak lelaki itu sering diajak makan ke restoran elit. Bermain sepuasnya di wahana super mewah. Pakaian branded dari ujung kaki sampai kepala tak luput jadi bahan iri teman sekelasnya. Tapi itu dulu, dulu sekali. 
Tak berapa lama, Brayn kembali ke rumah dalam kondisi menangis. 

"Bu, es potong harganya dua ribu. Uangnya masih kurang." Kartinah kembali mencari uang sisa yang terselip di sela-sela saku. Nihil. Ia pun mencari di balik dipan, masih tak ada. 

"Jaman sekarang, harga-harga pada naik. Kamu jangan jajan yang harganya mahal. Beli yang lain saja. Uang ibu sudah habis." 

"Tapi Brayn mau es potong itu."

Kalap, Kartinah mengambil sapu lalu memukul Brayn. Warna kebiruan tercetak di pahanya. Dirman hanya menangis melihat apa yang dilakukan istrinya. Rasa sakit yang dideranya tak mampu untuk menghentikan tindakan  Kartinah. 

Dirman tergagap, penyakitnya menyerang tiba-tiba. Panik, Kartinah berteriak minta tolong. Dirman dibawa ke puskesmas, tapi dokter angkat tangan dengan penyakitnya.  Brayn yang masih syok karena dipukul ibunya, tinggal di rumah neneknya. 

Berjam-jam menunggu surat rujukan, Kartinah duduk di kursi menunggu Dirman sadar. Namun perawat tak kunjung datang memberikan informasi. Ah, sudah biasa Kartinah  menguatkan hatinya. Ya, baginya yang miskin, untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit harus melalui prosedur yang rumit, tak peduli pasien mau sekritis apa pun yang penting prosedur terpenuhi. Berbeda dengan orang berduit, pelayanan cepat dan maksimal. 

Pernah suatu ketika, ia dirujuk ke rumah sakit. Sesampainya di sana, ia hanya dibiarkan saja tanpa ada penanganan medis. Nasip jadi orang miskin di negeri yang seperti ini memang tidak boleh sakit, harus kuat meski penyakit menggerogoti. 

Kartinah jadi berpikir, alangkah senangnya jadi orang gila. Tak pernah sakit meski kehujanan dan kepanasan. Meski bertemu nasi sehari sekali bahkan mungkin seminggi sekali, ia tak pernah mengeluh. Tawa selalu hadir di bibirnya. Tak ada beban, tak ada penderitaan. Semua begitu indah ... dalam dunianya. 

TSM, 10 Desember 2019