Baca selengkapnya

Wahyudi
Oleh: Dede Aah Humairoh

Masih sangat pagi, Nek Ijah terbangun dari tidurnya. Bergegas ia mengambil Wudu. Sudah menjadi kebiasaannya di pukul tiga dini hari melaksanakan salat Tahajud. Menumpahkan segala doa yang ingin segera dicapai, karena ... katanya, pada saat itu adalah salah satu waktu yang paling tepat untuk meminta segala.
Di sudut lain, seorang lelaki masih berselimutkan sarung. Menghindari gigil yang menyapa. Sesekali dengkuran terdengar dari mulut. Tuntas. Sampai Nek Ijah selesai melaksanakan salat shubuh.

“Wahyudi, lihat matahari sudah tampak. Tak malu apa?”

Nek Ijah membuka tirai kamar anak semata wayangnya. Jendela dibuka, angin masuk dengan seketika. Menambah gigil di kulit lelaki yang masih tertidur di dipan.

“Bu, dingin tau!”

Wahyudi menggertak ibunya yang sudah renta di sela mata yang masih terpejam. Nek Ijah menggelengkan kepala melihat tingkah bujang tua di depannya. Mana ada wanita yang ingin menikah dengannnya, jika kelakuannya masih seperti ini.
Nek Ijah memilih pergi meninggalkan kamar anaknya, waktunya akan sia-sia jika hanya dihabiskan untuk melihat tingkahnya yang aneh. Diambilnya sapu ijuk, mulailah ia membersihkan setiap bagian sudut rumah.
***
Wahyudi baru terbangun dari tidurnya tepat pukul 09.00 pagi, dengan wajah kuyu khas bangun tidur ia berjalan ke dapur. Meja makan yang terletak dekat kompor menjadi sasarannya. Sambal menutup uap dari mulut, ia membuka tudung saji.

“Bu, makan pagi mana?”

tanyanya dengan berteriak. Namun sayang, orang yang ditanya tidak ada di rumah. Berapa kali pun Awahyudi memanggil, pasti tidaka aka nada jawaban.
Gelas dan piring yang ada di meja dilempar begitu saja. Penuh murka ia mencari keberadaan ibunya. Akan tetapi sosok itu tak ia temukan. Ia lalu pergi ke luar, menuju pasar tempat ibunya berjualan.

“Mengapa tidak menyiapkan makan pagi, Nenek Tua!”

Wahyudi mengacak-acak dagangan Nek Ijah. Pembeli yang sedang memilih sayuran yang dijual Nek Ijah kaget dengan kedatangan lelaki bertubuh tinggi dengan jambang yang tak terurus.

“Hey, Wahyudi, yang sopan sama ibumu! Dasar bujang lapuk!”

Ibu tadi menuju tempat Nek Ijah. Ada beberapa sayuran yang mengenai wajah keriput Nek Ijah. Namun, seperti biasa, Nek Ijah hanya diam dengan perlakuan anaknya.
“Ibu akan pulang dan menyiapkan sarapan, jangan buat keributan lagi di pasar!”

Nek ijah membereskan dagangannya, matanya memandang iba pada setiap pengunjung pasar. Itu harus dilakukan olehnya, dari pada keributan yang lebih besar terjadi. Pernah suatu ketika, wahyudi mengamuk di pasar karena Nek Ijah telat membelikan rokok yang dipinta. Lapak-lapak pedagang ia hancurkan, tak ada yang berani melerai.

Perangainya kadang berubah baik, bahkan sangat baik. Pekerjaan rumah ia selesaikan, jualan Nek Ijah bantu dijajakan. Pada para pengunjung pasar pun, ia tak segan menyapa.
Entah sejak kapan, perangainya berubah-ubah. Entah sejak ditolak oleh keluarga Nengsih waktu lamaran atau saat ia dipecat dari perusahaannya tempat bekerja karena dituduh mencuri. Yang pasti, perangainya yang dulu sangat disanjung banyak orang, berubah begitu saja. Seperti ada dua kepribadian dalam diri Wahyudi.
***
“Mengapa ibu tidak pergi ke pasar?”

Wahyudi dengan lembut bertanya pada ibunya. Setelah Nek Ijah menyajikan makanan, Wahyudi langsung makan dan tidur kembali. Saat bangun, jiwanya yang lain datang. Perkataannya jadi lembut, perangainya jadi baik. Segala pekerjaan dilakoni.

"Tak apa, Nak. Ibu mau mencunci pakaian."

Nek Ijah menahan air mata yang ingin keluar. Ibu mana yang tak sedih melihat kondisi anaknya yang berubah-ubah setiap waktu. Ia lalu mengambil pakaian kotor di sudut kamar Wahyudi.

Di kamar ini sebuah foto keluarga tersimpan rapi di atas nakas. Foto saat liburan keluarga, Wahyudi kecil menggandeng lengan ayahnya. Sebagai anak satu-satunya, segala permintaan selalu dipenuhi.

"Pak, anakmu sudah lebih dari dewasa. Tapi sayang, aku gagal mendidiknya."

Tangis Nek Ijah pecah mengingat kondisi Wahyudi, sesak di dada saat orang-orang menyebut anaknya itu orang gila.

***

"Hey, Wahyudi. Jangan menyusahkan Nek Ijah terus," seru Wawan, kawan sepermainannya. Di gardu ini, mereka biasa berkumpul dengan kawan yang lain. Bermain kartu atau hanya sekadar nongkrong. Di dekat pohon akasia, bangku kecil dari bambu terpajang. Gitar dipetik menghangatkan suasana.

Akan tetapi, itu dulu. Sekarang, gardu itu selalu kosong, hanya Wawan yang masih setia berkawan dengan Wahyudi. Meskipun ada rasa khawatir jika Wahyudi kambuh dan membahayakan anaknya.

"Siapa, yang menyusahkan ibu? Aku sayang sama ibu."

Wahyudi mengelak tuduhan Wawan, ia tidak terima satu-satunya sahabat yang masih bersedia berkumpul dengannya, menghina dengan pertanyaan itu.

Wawan yang sadar dengan perubahan nada obrolan Wahyudi memilih segera pergi. Ia tak ingin, anak balitanya jadi korban amuk Wahyudi.

***

"Wahyudi? Kamu di mana?" parau, suara Nek Ijah memanggil. Sejak obrolan dengan Wawan di gardu, Wahyudi pergi meninggalkan rumah, pada tetangga yang terlewati olehnya, ia menyampaikan akan pergi ke kota. Mencari kerja. Para tetangga itu hanya tertawa, mencemooh perkataan Wahyudi. Mana mungkin ada yang mau mempekerjakan orang gila, pikir mereka.

Nek Ijah hampir setiap pagi dan sore datang ke batas desa. Di mana angkutan umum hilir mudik mencari penumpang. Masih ada harapan pada hatinya, Wahyudi akan pulang.

Sudah hampir setahunn, kabar Wahyudi belum ada. Entah apa yang terjadi dengannya kini. Pun dengan Nek Ijah, kondisinya semakin memperihatinkan. Kurus tak terurus, ditambah beban pikiran yang tak jua menemukan titik terang. Hingga ajal menjemput nenek tua itu, sendiri tanpa ada yang mengetahui kapan waktu tepat meninggalnya Nek Ijah.

End

TSM, 05 Agustus 2019